George
Soros, Pria Yang Menghancurkan Poundsterling, Rupiah
Soros dikenal memiliki kemampuan tinggi dalam berspekulasi
di bidang perdagangan mata uang. Pada tahun 1982, dalam waktu singkat Soros
berhasil meraup keuntungan 1,2 milyar dolar dalam perdagangan mata uang
Poundsterling. Akibatnya, sebagian perekonomian Inggris hancur. Iapun dijuluki
sebagai “Pria Yang Menghancurkan Pound” (The Man Who Broke the Pound). Pada
pertengahan tahun 1997, perekonomian negara-negara Asia Tenggara, antara lain
Indonesia, Thailand, dan Malaysia, tergoncang hebat karena secara tiba-tiba
harga tukar dollar melonjak tinggi. Ribuan perusahaan bangkrut dan jutaan orang
menjadi penganggur.
Meskipun banyak faktor yang menyebabkan krisis moneter ini,
namun salah satu sebab utamanya adalah perilaku para spekulan valuta asing yang
telah memborong dollar Amerika, lalu menjualnya dengan harga tinggi sehingga
nilai mata uang negara-negara ASEAN itu terpuruk. Spekulan uang terbesar pada
era krisis tersebut adalah George Soros.
Kebangkrutan
berbagai industri di negara-negara ASEAN itu lalu dimanfaatkan oleh kapitalis
Barat untuk membeli saham-saham di negara-negara tersebut dengan harga murah.
Akibatnya, kini sebagian besar perusahaan penting di Indonesia adalah milik
pengusaha asing. Pada tahun 2000, George Soros dilaporkan memiliki saham pada
PT AGIS di Indonesia sebesar 10 persen dan beberapa perusahaan lainnya,
termasuk Astra internasional.
Belakangan,
untuk menghapus citra buruk dirinya, lewat jaringan yayasan yang dimilikinya,
Soros berusaha menyisihkan sebagian kekayaan yang diperolehnya dari kegiatan
spekulasi untuk membantu mengatasi dampak ‘kegagalan sistem pasar finansial
global’ terhadap negara-negara miskin. Soros selalu menampilkan organisasi yang
dipimpinnya itu sebagai organisasi yang melakukan aksi-aksi kemanusiaan di
berbagai penjuru dunia. Soros juga melakukan perjalanan ke berbagai penjuru
dunia dan menyampaikan pidato-pidato berkenaan dengan demokrasi dan kebebasan.
Menurut media massa Barat, Soros Foundation telah mengucurkan dana sebesar 4,2
milyar dolar untuk membantu fakir miskin di berbagai penjuru dunia.
Namun,
bantuan itu tidak disalurkan lewat PBB dengan alasan bahwa Soros tidak
mempercayai PBB. Karena itu, banyak pengamat politik yang meyakini bahwa
langkah Soros Foundation untuk menyampaikan bantuannya secara langsung adalah
untuk menyebarkan pengaruh dan infiltrasi di kawasan-kawasan yang diberi
bantuan. Pada tahun 1997, seorang ilmuwan Bosnia mengungapkan bahwa di Bosnia,
Soros dianggap sebagai pahlawan oleh sebagaian masyarakat negara muslim ini.
Sebabnya adalah karena selama Perang Bosnia, Soros banyak mengucurkan bantuan
finansial kepada rakyat Bosnia. Kemudian, setelah perang usai, Soros mendanai
berbagai penerbitan media massa di negara itu. Media yang diterbitkan itu
banyak memuat foto-foto amoral dan menyebarkan pemikiran kebebasan dan
sekularisme.
Presiden
Brazil, Lula da Silva, dalam KTT Ekonomi di Davos, Swiss, tahun lalu,
mengatakan bahwa lembaga-lembaga keuangan dunia, di antaranya lembaga keuangan
milik Soros, merupakan penyebab krisis di negaranya. Presiden Brazil memang
pantas marah terhadap Soros. Rakyat Brazil lainnya pun juga marah terhadap
Soros karena kata-katanya yang menyinggung hati mereka dalam majalah Sao Paolo.
Soros mengatakan,
Dalam
sistem ekonomi kapitalisme, kepala negara-kepala negara di dunia ditentukan
oleh AS. Dalam pemilu Brazil, kandidat yang menentang kebijakan kami, tidak
boleh terpilih. Pada kenyataannya, bukanlah rakyat Brazil yang memberikan
suara. Jika ada kandidat lain yang terpilih, Brazil akan berhadapan dengan
krisis ekonomi yang besar. AS kini bagaikan Roma pada zaman dulu, yang
merupakan rezim satu-satunya yang berhak untuk bersuara.
Namun
anehnya, meskipun berperan sebagai sumber krisis keuangan di berbagai negara
dan berhasil mengeruk milyaran dollar dari krisis itu, Soros pun aktif menulis
buku-buku ilmiah mengenai perekonomian dunia. Di sini ia menempatkan diri
sebagai pengamat dan memberikan saran-saran mengenai bagaimana seharusnya
perekonomian dunia diatur sehingga negara-negara bisa keluar dari krisis
ekonomi. Salah satu buku karya Soros berjudul Krisis Kapitalisme Global. Di dalamnya, Soros berusaha menunjukkan bahwa kapitalisme
global sedang mengalami ujian dan ancaman yang sangat berat. Apabila hal ini
tidak ditangani secara serius, suasana krisis akan akan menghantui perjalanan
kapitalisme global. Dengan kata lain, meskipun sistem kapitalisme telah
terbukti mengorbankan jutaan rakyat di dunia, namun Soros melalui bukunya ini
berusaha terus menyebarkan sistem kapitalisme global yang memang terbukti telah
membuat dirinya kaya raya.
Soros dan Krisis Moneter Asia
Beberapa
bulan sebelum terjadinya krisis moneter 1997, seluruh dunia termasuk Bank Dunia
dan IMF memuji-muji prestasi ekonomi Asia Timur, termasuk Indonesia. Bahkan
ekonomi negeri ini disebut-sebut secara fundamental sehat dan kuat. Indonesia
pun dijuluki sebagai “Macan Baru Asia” karena kemajuan pesatnya di bidang
ekonomi. Namun ternyata, semua prestasi yang dibanggakan itu seperti tak ada
artinya tatkala nilai tukar Rupiah, Ringgit, Bath, dll, terhadap Dolar AS jatuh
terjerembab di bursa valas internasional. Efek dari jatuhnya mata uang
negara-negara Asia Tenggara ini sangat luar biasa. Seperti kartu domino, mula-mula
hanya berpengaruh terhadap sejumlah produk impor, tetapi kemudian menjalar ke
berbagai sektor, melambungkan harga berbagai produk lokal, membangkrutkan
ribuan perusahaan dan menganggurkan jutaan tenaga kerja.
Sebab
awal terjadinya krisis ini memang jelas. Semua ini bermula dari permainan kotor
yang dilakukan para spekulan mata uang internasional untuk menjatuhkan sejumlah
mata uang di Asia. Salah satu spekulan yang bermodal kuat, dan karena itu
paling berperan besar dalam terjadinya krisis ini, adalah George Soros melalui
lembaga manajemen keuangan yang dimilikinya. Tak heran bila PM Malaysia saat
itu, Mahatir Muhammad, menyatakan, George Soros harus bertanggung-jawab atas
krisis moneter yang melanda beberapa negara Asia mulai kuartal kedua tahun
1997.
Selajutnya
Mahatir menghubungkan globalisasi dengan krisis ini. Mahatir mengatakan,
Setelah kita menerima globalisasi dan menerapkan kebebasan ekonomi di negara
kita, ekonomi dan uang kita menjadi sasaran serangan kekuatan-kekuatan besar
keuangan dunia dan orang-orang yang diuntungkan oleh sistem ini. Mahatir menambahkan, Hasil 40 tahun kerja keras bangsa Malaysia
lenyap hanya dalam beberapa pekan akibat pekerjaan beberapa orang dan tidak ada
hukum internasional apapun yang bisa dipakai untuk menghadapi orang-orang
seperti ini.
PM
Mahathir menegaskan, “Berdagang uang adalah perbuatan yang tidak bermoral.
“Kenyataan memang menunjukkan bahwa perdagangan mata uang atau valuta asing
cenderung merugikan yang lemah. Para spekulan uang tidak ragu-ragu mengguncang
stabilitas suatu negara demi kepentingan mereka sendiri. Dalam kasus moneter di
Indonesia, pertengahan tahun 1997 adalah masa ketika pembayaran hutang
perusahaan-perusaaan swasta jatuh tempo dengan jumlah sekitar 8 juta dollar.
Belum lagi bila diperhitungkan utang BUMN yang juga jatuh tempo dan kewajiban
pemerintah untuk membayar cicilan utang dan bunganya yang cukup besar, yaitu
sekitar 6 miliar dolar. Artinya, pada masa itu, kebutuhan terhadap dollar
meningkat. Pada saat itulah, para pedagang uang memborong dollar dan kemudian
menjualnya dengan harga tinggi. Akibatnya, ribuan perusahaan di Indonesia
bangkrut, harga-harga melambung tinggi sehingga jumlah rakyat miskin meningkat
tajam, dan pemerintah Indonesia kini terbebani hutang sebesar 1500 trilyun
rupiah.
ETIKA BISNIS SOROS
Meskipun
letak kesalahan tidak seratus persen berada di tangan Soros, karena jatuhnya
nilai rupiah ini juga dipengaruhi oleh sistem devisa bebas yang diterapkan oleh
pemerintah Indonesia sehingga membuka peluang bagi siapa saja untuk
memperdagangkan valuta asing, namun etika bisnis yang dianut oleh Soros dan
para pedagang valas lainnya patut dipertanyakan. Ketika Soros melakukan
transaksi valas, dia sudah bisa memprediksikan kehancuran negara-negara Asia
sebagai akibat dari transaksi itu. Namun, ia tetap melakukannya dan terjadilah
krisis hebat yang menyengsarakan puluhan jutaan rakyat Asia Tenggara. Tak heran
bila mantan PM Malaysia Mahatir Muhammad pernah menyatakan kecurigaannya bahwa
krisis moneter yang menyapu Asia ini adalah sebuah agenda Yahudi karena kaum Yahudi, kata Mahathir, tidak senang bila melihat
kaum Muslim bergerak maju.
Perdagangan
valas yang dilakukan Soros telah memberi keuntungan kepadanya sebesar satu
milyar dollar pertahun. Artinya, demi menambah jumlah uangnya, Soros dengan
tega telah mengorbankan puluhan juta rakyat di berbagai negara. Menanggapi
berbagai kecaman yang disampaikan terhadapnya, Soros menyatakan bahwa kesalahan
terletak pada pemerintahan yang tidak transparan dan despotik di negara-negara
Asia. Menurut Soros, pasar akan menentukan dirinya sendiri. Artinya, bisnis
yang dia lakukan hanya semata-mata memenuhi peluang pasar. Padahal, pasar
global sesungguhnya tidak bebas, melainkan diatur oleh para pemodal kelas kakap
semacam Soros.
Sebagian
pengamat ekonomi yang membela Soros mengatakan bahwa apa yang dilakukan Soros
adalah bisnis semata dan toh, Soros juga memberikan sebagian uangnya untuk
membantu rakyat miskin di berbagai negara. Pandangan ini menunjukkan bahwa Soros
Foundation telah memberikan citra baik kepada Soros, sehingga bisa mengurangi
berbagai kecaman yang dialamatkan kepada dirinya. Atas aktivitas yayasannya
tersebut, Soros juga dijuluki sebagai filantropis atau orang yang mencurahkan
perhatian, waktu, dan uangnya untuk menolong orang lain.
Namun,
kegiatan Soros membantu rakyat miskin dengan bisnisnya di bidang perdagangan
uang yang telah memiskinkan puluhan juta manusia, jelas merupakan sebuah
paradoks. Sudah pasti ada tujuan tersendiri di balik bantuan-bantuan yang
diberikan Soros melalui yayasan Soros Fundation-nya. Sebagaimana kami sebutkan
pada pertemuan sebelumnya, di Bosnia, Soros mendanai penerbitan media massa
yang memuat foto-foto amoral dan menyebarkan pemikiran kebebasan dan
sekularisme.
Soros dan Revolusi Beludru Georgia
Kawasan
Kaukasus dan Asia Tengah merupakan kawasan yang menjadi pusat aktivitas Soros
Foundation selama beberapa tahun terakhir. Aktivitas yayasan ini di Georgia
menjadi pusat perhatian dunia sejak terjadinya transformasi politik di negara
itu pada bulan November 2003. Krisis di Georgia berawal dari penyelenggaraan
pemilihan anggota perlemen tanggal 2 November 2003. Dalam pemilu tersebut,
pemerintah di bawah kepresidenan Eduard Shevardnadze dicurigai melakukan
kecurangan, sehingga menimbulkan aksi demonstarsi besar-besaran. Demonstrasi
besar yang dipimpin oleh Mikhail Saakashvili, ketua Partai Gerakan Nasional
ini, akhirnya berhasil memaksa Presiden Shevardnadze mengundurkan diri dari
jabatannya pada tanggal 22 November 2003. Pergantian kekuasaan ini berjalan
damai dan tidak ada korban jiwa, sehingga disebut sebagai Revolusi Beludru.
Pada awal tahun 2004, kembali diadakan pemilu, dan Mikhail Saakashvili,
terpilih sebagai presiden baru Georgia.
Setelah
mengundurkan diri, Eduard Shevardnadze melakukan berbagai langkah untuk
mengungkapkan peran Soros Foundation di balik krisis politik di negaranya itu.
Menurut Shevardnadze, Soros telah mengucurkan dana beberapa juta dolar untuk
mendukung aksi penyingkiran Shevardnadze dari jabatannya. Shevardnadze
mengatakan, Saya tidak bisa menyebutkan negara-negara mana saja yang mendukung
kerusuhan yang terjadi bulan November itu, namun bisa diyakini,
kelompok-kelompok internasional semacam Soros Foundation merupakan pendukung
dana dari aksi itu. Tujuan Soros Foundation adalah menciptakan situasi seperti
di Yugoslavia, yang pada tahun 2000, gerakan-gerakan demonstrasi massa telah
berhasil menyingkirkan Slobodan Milosevic dari jabatannya sebagai presiden.
Selain
itu, Shevardnadze juga menuduh Richard Miles memiliki peran penting di balik
penggulingan dirinya. Kecurigaan atas peran AS mulai tampak pada pembatalan
kunjungan Collin Powell ke Georgia pada tanggal 16 Mei 2003. Pada musim panas
2003, Shevardnadze yang mulai mencurigai Richard Miles, meminta kepada Presiden
Bush agar menarik pulang Dubes AS itu, namun permintaan ini ditolak Bush. Pada
saat yang sama, pemerintahan Shevardnadze menghadapi jatuh tempo pembayaran
hutang negara, namun IMF yang memiliki kaitan erat dengan Soros Foundation,
menolak memberikan bantuan keuangan. Pada bulan November, terjadilah
demonstrasi besar-besaran menentang pemerintah yang berujung pada pengunduran
diri Shevardnadze.
Tuduhan
yang dilemparkan Shevardnadze itu didukung oleh berbagai bukti. Pertama, Soros
sendiri pernah menyatakan bahwa dirinya telah mengeluarkan uang jutaan dollar
untuk menggulingkan pemerintahan Shevardnadze. Kedua, dalam pemerintahan
Georgia yang baru terbentuk, empat di antaranya, yaitu Menteri Pendidikan,
Menteri Kehakiman, Menteri Keuangan, dan Menteri Urusan Pemuda, adalah
orang-orang yang dikenal dekat dengan George Soros. Keempat orang ini
sebelumnya bekerja untuk Soros Foundation. Selain itu, Soros juga pernah
melakukan pertemuan dengan Presiden Mikhail Saakashvili di Davos, Swiss, dan
menjanjikan akan memberikan bantuan keuangan kepada pemerintahannya. Dalam
menjustifikasikan perbuatannya, Soros menyatakan, Jutaan dolar uang yang telah
dikeluarkan akan melahirkan milyaran sejarah.
Tiga
Organisasi Yang Berperan Dalam Penggulingan Shevardnadze
Bokeria,
ketua Liberty Institute yang menerima bantuan dana dari Institut Masyarakat
Terbuka Soros, mengatakan ada tiga organisasi yang memainkan peran kunci dalam
penggulingan Shevardnadze, yaitu Partai Gerakan National, stasiun televisi
Rustavi-2, dan sebuah organisasi kaum muda yang bernama Kmara. Organisasi pemuda ini mendeklarasikan perang terhadap
Shevardnadze pada bulan April 2003 dan memulai kampanye melalui poster dan
graffiti untuk mengkritik korupsi yang dilakukan pemerintah.
Ketiga
organisasi itu memiliki hubungan dengan George Soros. Menurut laporan media
massa Georgia, Kmara menerima 500.000 dolar untuk mendanai aksi-aksi mereka.
Sementara itu, televisi Rustavi-2 menerima dana awal peluncuran siarannya pada
tahun 1995. Televisi inilah yang memprovokasi massa dengan cara menyiarkan
hasil pemilu sesuai penghitungan yang dilakukan suatu LSM AS, yang berlawanan
dengan hasil penghitungan resmi pemerintah.
Pemimpin
Partai Buruh Georgia, Gela Daneliya, pada konferensi pers di Tblisi, ibukota
negara ini, pada tanggal 17 Januari 2004, menyatakan bahwa Georgia telah
menjadi korban Sorosization. Pernyataan ini dikeluarkan Daneliya menanggapi penunjukan
Irakly Rekhviashili sebagai Menteri Ekonomi, Industri, dan Perdagangan.
Padahal, menurut Daneliya, Rekhviashili baru berusia 28 tahun dan lebih banyak
menghabiskan umurnya di luar negeri. Rekhviashili adalah orang dekat Soros dan
diserahi jabatan penting itu pada hari ketika ia tiba di Georgia.
Namun
demikian, masuknya Soros ke Georgia justru karena kesalahan Eduard Shevardnadze
sendiri. Pada awal dekade 1980-an, Shevardnadze giat menjalin hubungan dekat
dengan Soros dan pemerintahan negara-negara Barat. Shevardnadze sendirilah yang
mengundang Soros untuk mendirikan Institut Masyarakat Terbuka atau Open Society
Institute
di Georgia. Namun, setelah mundurnya Mikhail Saakashvili dari jabatannya
sebagai menteri kehakiman, hubungan antara Soros dan Shevardnadze menjadi
dingin. Mikhail Saakashvili inilah yang kemudian menggalang demonstrasi anti
Shevardnadze dan kini menjabat sebagai Presiden Georgia.
Pada
pertengahan tahun 2002, Shevardnadze secara terbuka memulai kritikannya
terhadap campur tangan Soros dalam urusan politik dalam negeri Georgia. Soros
kemudian mengadakan konferensi pers di Moskow dan menyatakan bahwa pemerintahan
Shevardnadze tidak bisa dipercaya dalam pelaksanaan pemilu parlemen yang akan
dilakukan tahun 2003. Soros bahkan mengatakan, Sangat perlu dilakukan
mobilisasi masyarakat sipil untuk menjamin kebebasan dan kejujuran pemilu,
karena banyak kekuatan yang telah ditugaskan untuk memanipulasi pemilu. Inilah
yang kami lakukan di Slovakia pada masa pemerintahan Meciar, di Kroasia pada
masa pemerintahan Tudjman, dan di Yugoslavia pada masa pemerintahan Milosevic. Dengan demikian, Soros secara eksplisit memang mengakui campur
tangan yang dilakukannya atas urusan politik berbagai negara.
SOROS DI AZERBAIJAN
Republik
Azerbaijan adalah salah satu negara di wilayah Kaukasus yang dijadikan terget
kegiatan Soros Foundation, segera setelah runtuhnya Uni Soviet. Hal ini
memiliki beberapa alasan, antara lain karena Republik Azerbaijan adalah
satu-satunya negara muslim di Kaukasus dan memiliki sumber daya alam yang kaya,
sehingga Azerbaijan bisa disebut sebagai negara terkaya di Kaukasus. Bersamaan
dengan naiknya Haydar Aliyev ke kursi kepresidenan, Soros Foundation pun
memperluas aktivitasnya di negara ini dengan mendirikan Open Society Institute
atau Institut Masyarakat Bebas.
Hingga
kini, Institut Masyarakat Bebas yang dimiliki oleh Soros Foundation telah
mengucurkan dana sebesar 20 juta dolar untuk mendanai berbagai kegiatan mendia
massa dan LSM di Azerbaijan. Farda Asadov, Direktur Eksekutif di Institut
Masyarakat Bebas Azerbaijan, menyatakan bahwa pengeluaran yayasan ini pada
tahun 2003 lalu adalah sebesar 3 juta dolar. Lima belas persen dari jumlah itu
digunakan untuk bidang propaganda, 24 persen di bidang pendidikan, 50 persen
untuk memberbaiki tatanan sosial, dan 16 persen untuk keperluan administrasi.
Secara umum, 72 persen bantuan dana dari institut ini diberikan kepada lembawa
swadaya masyarakat atau LSM, dan 28 persen diserahkan kepada lembaga pemerintah
Azerbaijan.
Meskipun
kegiatan Soros Foundation semakin meningkat sejak masa pemerintahan Haidar
Aliyev, namun akhirnya Presiden Azerbaijan ini melemparkan kritikan kepada
yayasan ini karena ikut campur dalam krisis Karabakh. Menurut Aliyev, daripada
membantu para pejuang separatis Karabakh, Soros sebaiknya memberikan bantuan
kepada para pengungsi perang Karabakh. Menjawab kritikan ini, George Soros
menyatakan bahwa adalah terserah baginya untuk memberikan bantuan kepada siapa
saja. Soros bahkan menjanjikan bantuan enam juta dolar kepada etnis Armenia di
Karabakh yang ingin memisahkan diri dari Azerbaijan serta mendirikan kantor
perwakilan di sana.
Setelah
terjadinya penggulingan Presiden Georgia yang didalangi oleh Soros Foundation,
pemerintah Azerbaijan pun semakin mengkhawatirkan kinerja yayasan tersebut di
negaranya. Apalagi, pada tahun 2005, di Azerbaijan akan dilangsungkan pemilu
parlemen. Aqil Abasov, pemimpin redaksi majalah Keadilan di Azerbaijan, menyatakan bahwa Soros Foundation dengan
melakukan berbagai permainan politik berencana untuk menginfiltrasi pemerintah.
Sebagian pejabat partai berkuasa di negara itu juga menyuarakan kekhawatiran
mereka atas gerak-gerik yayasan ini. Tak lama kemudian, dimulailah gerakan
propaganda anti-Soros di Azerbaijan.
Kini,
ketika pemilu parlemen semakin mendekat, aktivitas Soros Foundation menjadi
terbatas. Namun setelah Presiden Ilham Aliyev, yang menggantikan ayahnya,
Haidar Aliyev, mengadakan pertemuan dengan Soros di sela-sela sidang Majelis
Umum PBB, kegiatan Soros Foundation kembali meningkat. Pada bulan Desember
2004, yayasan ini merekrut pegawai-pegawai baru yang berasal dari kelompok
non-Syiah dan mendirikan media massa. Melalui media massa ini, praktik-praktik
korupsi pemerintah dibesar-besarkan dan hal ini mirip dengan langkah yang
diambil Soros di Georgia.
Pada
akhir tahun 2004, Institut Masyarakat Bebas Azerbaijan juga meluncurkan
terjemahan buku berjudul Korupsi dan Pemerintah dalam bahasa Azari, yang ditulis oleh Susan Rose-Ackerman.
Dalam buku ini dibahas secra terperinci mengenai pemilu dan skandal-skandal
yang meliputinya. Peluncuran terjemahan buku ini oleh Soros Foundation tentu
bukan tanpa alasan. Salah satu alasan yang cukup jelas adalah untuk menggalang
opini masyarakat Azerbaijan agar mencurigai pemerintah mereka sendiri.
Sebagaimana kita bahas dalam bagian ke-3, langkah yang diambil Soros di Georgia
adalah dengan mempengaruhi opini rakyat, sehingga rakyat Georgia mengadakan
demonstrasi besar-besaran menentang pemerintah. Akhirnya, Presiden Shevardnaze
pun mengundurkan diri.
Menanggapi
berbagai kritikan yang diarahkan kepada Soros Foundation di Azerbaijan, Fuad
Sulaimanov, salah seorang juru bicara yayasan ini mengklaim bahwa Soros
Fundation tidak pernah melakukan aktivitas untuk mengubah pemerintahan di
negara manapun dan hanya bergerak di bidang perluasan demokrasi, peningkatan
pengetahuan masyarakat, serta menjaga ketransparansian pemilu. Pernyataan
Sulaimanov ini jelas bertentangan dengan fakta bahwa Soros Foundation
bekerjasama dengan Kedubes AS di Azerbaijan telah mengirim sejumlah oposan
pemerintah Azerbaijan ke Ukrainma, untuk mempelajari revolusi di negara
tersebut. Seperti diketahui, di Ukraina pada akhir tahun 2004 terjadi
demonstrasi besar-besaran menentang hasil pemilu. Akhirnya, dilakukan pemilu
ulang yang dimenangkan oleh Viktor Yushchenko yang didukung oleh AS.
Selain
mencampuri urusan politik dalam negeri Azerbaijan, Soros Fundation juga aktif
dalam menghancurkan sendi-sendi keagamaan masyarakat. Suratkabar Ulayelar yang
terkait dengan Kementerian Keamanan Nasional Azerbaijan, baru-baru ini
mengungkapkan usaha Soros Foundation untuk menyebarluaskan narkotika dalam
kedok program pemberantasan narkotika. Suratkabar ini dalam sebuah makalah
berjudul Baku Dalam Jebakan Heroin, menulis, Soros Foundation pada tahun antara 2001 hingga 2003
menyusun sebuah program rahasia sebanyak 63 halaman berkaitan dengan penyebaran
narkotika. Program penyebarluasan narkotika oleh Soros Foundation untuk pertama
kali terungkap di Rusia dan sejumlah pelaksana program tersebut telah
ditangkap.
Selanjutnya,
suratkabar Ulayelar juga menulis bahwa Soros Foundation di Azerbaijan memiliki
program-program infiltrasi terhadap sekolah, pusat keilmuan dan penelitian,
penjara, dan rumah sakit. Bahkan, yayasan ini berusaha memasukkan pandangan
mereka dalam buku-buku pelajaran sekolah di Azerbaijan, yang jelas bertentangan
dengan kepentingan negara tersebut.
SOROS DI ARMENIA
Meskipun
kegiatan Soros Foundation di Armenia, di bawah bendera Institut Masyarakat
Bebas atau Open Society Institute, masih belum banyak terungkap, namun
pola-polanya tidak jauh berbeda dengan kegiatan yayasan ini di negara-negara
Kaukasus lain. Armenia adalah pangkalan militer Rusia terpenting di Kaukasus.
Hal ini menjadikan Armenia memiliki posisi penting yang membuat AS
mengkhawatirkan eratnya hubungan antara Armenia dan Rusia. Dalam usaha
menginfiltrasi Armenia, AS menggunakan berbagai cara, di antaranya melalui
propaganda media massa. Pada tahun 2004, Institut Masyarakat Bebas berhasil
menyebarkan ide-idenya di bidang media massa dengan disahkannya UU baru Armenia
terkait dengan media massa.
Tak
lama kemudian, berbagai media massa menyebarkan propaganda mengenai situasi
buruk di Armenia, dengan tujuan menggerakkan opini rakyat negara ini untuk
menentang pemerintah mereka. Selain itu, Soros Foundation, sebagaimana di
negara Kaukasus lain, juga memberikan bantuan dana kepada LSM-LSM dengan tujuan
yang sama, yaitu menggalang opini rakyat untuk menentang pemerintah. Salah satu
LSM yang mendapat dukungan dana dari George Soros adalah International Crisis
Center (ICG).
Pada
akhir tahun 2004, ICG mengeluarkan laporan sebagai berikut. Armenia yang meraih
kemerdekaan pada tahun 1991 dan memenangkan perang tahun 1992-1994 dengan
Azerbaijan, saat ini sedang berada dalam masa damai dan tengah membangun
perekonomiannya. Namun, kestabilan negara ini terhitung rapuh. Nagorno-Karabakh
masih tetap menjadi problem yang belum terselesaikan yang dengan mudah dapat
kembali meletus. Korupsi dan pelanggaran terhadap proses demokrasi telah
meresahkan masyarakat, yang setengahnya masih hidup di bawah garis kemiskinan….
Pihak-pihak donor harus lebih menekan negara ini agar terjadi reformasi
demokrasi dan pemerintahan yang baik… Kesempatan untuk menyampaikan kehendak
politik secara bebas masih sangat terbatas.
Berbagai
usaha propaganda media massa dukungan Soros Foundation mulai terlihat hasilnya
ketika pada akhir tahun 2004, terjadi demonstrasi besar di Armenia yang
didalangi oleh kelompok oposisi. Isu yang digunakan oleh klompok oposisi
Armenia sama seperti yang dilakukan para oposan Georgia ketika akan
menggulingkan Presiden Shevarnadze, yaitu kecurangan dalam pemilu. Merekapun
menuntut Presiden Armenia, Robert Kacharyan, untuk mundur dengan alasan dia
telah terpilih melalui pemilu yang curang.
Indikasi
bahwa kelompok oposisi Armenia mendapat dukungan dari Soros Foundation tampak
pada laporan suratkabar AZG yang mengungkapkan bahwa pada tahun 2003, sejumlah
tokoh oposisi Georgia, di antaranya Mikhail Saakashvili, telah berkunjung ke
Beograd, Yugoslavia. Dalam kunjungan yang didanai Soros Foundation ini, para
tokoh oposisi Georgia itu memepelajari cara-cara kudeta yang telah
menggulingkan Presiden Slobodan Milosevic. Pada saat yang sama, tokoh-tokoh
oposisi Armenia juga dikirim ke Beograd dan bisa dipastikan, tujuan kedatangan
mereka ke sana adalah juga untuk mempelajari kudeta yang terjadi di Yugoslavia.
Namun
demikian, usaha Institut Masyarakat Bebas atau Soros Foundation untuk
menggulingkan Presiden Armenia, Robert Kacharyan, hingga kini masih belum
berhasil. Apalagi, ada pula faktor Rusia yang mempengaruhi. Bagi Rusia, Armenia
adalah posko terakhirnya di Kaukasus, setelah negara-negara Kaukasus lainnya
berpihak kepada Barat. Rusia akan melakukan segala cara untuk mempertahankan
pemerintahan Robert Kacharyan. Hubungan erat antara pemerintah Armenia dengan
Rusia ini dijadikan sebagai isu utama oleh kaum oposan. Mereka menuduh
pemerintahan Kacharyan mengekor Rusia.
Usaha
AS untuk menggoyang pemerintahan Kacharyan tidak hanya melalui tangan Soros
Foundation, melainkan juga dengan mengirimkan duta besar baru untuk Armenia,
yaitu John Evans. Sebagaimana yang terjadi di Georgia dan Ukraina, Kedutaan
Besar AS sangat berperan dalam menggalang demonstrasi massa yang akhirnya
menyebabkan presiden di kedua negara itu terguling. Apalagi, AS juga melakukan
langkah yang mencurigakan di Armenia dengan membangun gedung kedutaan AS terbesar
di dunia. Menurut situs berita Pravda, gedung kedubes AS yang baru itu dibangun
di atas tanah seluas 9 hektar.
Duta
besar AS untuk Armenia, John Evans, akhir-akhir ini secara teratur mengadakan
pertemuan dengan para tokoh partai-partai oposisi. Penunjukan John Evans
sebagai Dubes baru AS untuk Armenia juga patut dicurigai karena dia dikenal
sebagai mentor politik Richard Miles, Duta Besar AS untuk Georgia yang sangat
berperan penting dalam Revolusi Beludru di Georgia. Itulah sebabnya, pada tahun
2004, pemerintah Armenia menolak memberikan visa kepada Richard Miles.
Pemerintah Armenia bahkan memerintahkan Direktur Badan Keamanan Nasional untuk
menemukan semua orang yang pernah mengikuti pendidikan di Bosnia pada tahun
2003-2004 atas biaya AS dab Soros Fpundation. Selain itu, pemerintah Armenia
juga melakukan pengawasan ketat terhadap gerak-gerik Soros Foundation di negara
ini.
Bila
kita melihat latar belakang mantan Presiden Georgia, Eduard Shevarnadze dengan
Presiden Armenia, Kacharyan, kita akan menemukan kesamaan kasus, yaitu mereka
sama-sama menjalin hubungan yang erat dengan Rusia. Meskipun Shevarnadze
terlihat pro-Barat, namun ia telah menandatangani perjanjian 25 tahun jual-beli
gas dengan Rusia. Akibatnya, George Soros yang semula berhubungan baik dengan
Shevarnadze, malah berbalik mendalangi penggulingannya. Presiden Armenia pun
kini menjalin hubungan erat dengan Rusia. Hal ini jelas bertentangan dengan
kehendak AS, dan sangat mudah ditebak bahwa AS dengan berbagai cara akan
berusaha menggulingkan Presiden Armenia dan mendudukkan presiden baru yang
bersedia menurut pada kehendak AS. Namun yang jelas, hingga kini, rakyat
Armenia masih menolak untuk menyerahkan tanah air mereka kepada imperialisme AS.
SOROS DI RUSIA
Kehadiran
Soros Foundation di Rusia sudah dimulai sejak masa pemerintahan Gorbachev.
Institut Masyarakat Bebas mulai beraktivitas di Moskow sejak tahun 1987.
Bahkan, yayasan inilah yang memainkan peran penting dalam menyebarluaskan
ideologi pro-Barat dan slogan-slogan demokrasi, yang berakhir dengan keruntuhan
Uni Soviet. Beberapa waktu yang lalu, Alexander Goldavarop (?), mantan Direktur
Soros Foundation di Rusia, mengatakan, Saya hampir sepuluh tahun bekerjasama
dengan George Soros dan selama waktu itu, saya membelanjakan uang Soros sebesar
130 juta dolar untuk membantu reformasi di Rusia, memperlancar proses
pergantian dari sistem komunis ke sistem demokrasi liberal, serta membangun
masyarakat yang bebas.
Soros
Foundation lebih banyak menggunakan uangnya di Rusia untuk menanamkan modal di
bidang media massa. Dari 56 juta dolar dana yang ditanamkan di Rusia tahun 2000
oleh Soros Foundation, 18 juta dolar di antaranya digunakan untuk mendirikan
jaringan berita dan 5 juta dolar untuk mendukung surat kabar-suratkabar dan
televisi-televisi pro-Barat. Dalam buku yang ditulis sendiri oleh Soros tahun
1990 berjudul Membuka Pemerintahan Soviet, Soros menyampaikan ide-idenya tentang pembentukan pemerintahan
yang bebas, sehingga berbagai perusahaan dapat melakukan aktivitas keuangan di
luar kontrol pemerintah.
Dalam
rangka mengikis sistem komunis di Rusia, Soros Foundation juga bekerjasama
dengan LSM-LSM bentukan Barat, di antaranya NED atau Bantuan Nasional untuk
Demokrasi. NED didirikan tahun 1983 oleh Presiden AS saat itu, Ronald Reagan.
NED memiliki program bernama Proyek Pemindahan Demokrasi yang bekerjasama dengan Soros Foundation, dengan tujuan untuk
mempercepat proses reformasi di negara-negara sosialis. Salah satu hasil dari
proyek ini adalah pembentukan organisasi pemuda di Yugoslavia bernama Otpor. Organisasi pemuda Serbia ini sangat berperan dalam menggalang
demonstrasi tanggal 5 Oktober 2000 yang berhasil menggulingkan Presiden
Slobodan Milosevic.
Menurut
berbagai laporan, Soros Foundation bersama NED pada tahun 2000 telah memberikan
bantuan keuangan kepada 38 LSM di Rusia. Pada tahun 2002, kedua lembaga ini
memberikan bantuan sebesar 1,4 juta dolar kepada 33 organisasi pembelaan HAM.
Melalui berbagai LSM ini, kedua lembaga ini berusaha menyebarkan ide-ide demokrasi
ala Barat dan menciptakan opini anti-pemerintah. Usaha mereka untuk
menggulingkan pemerintahan Vladimir Putin yang dipilih oleh 80 persen rakyat
Rusia ini, hingga kini masih belum berhasil.
SOROS ANGKAT KAKI DARI RUSIA
Namun
tiba-tiba, pada bulan Juni 2003, Soros memutuskan untuk menghentikan misinya di
Rusia. Harian The Washington Post menulis bahwa alasan resmi yang disampaikan
Soros dalam menutup cabang Soros Foundation di Rusia adalah karena dalam
pandangannya, Rusia telah mampu berdiri sendiri dan tidak memerlukan lagi
subsidi darinya. Soros mengatakan, Saya telah mengeluarkan uang yang sangat
banyak di Rusia dan saya pikir, kini sudah tidak pada tempatnya lagi bagi saya
untuk terus mengeluarkan uang di sini. Russia adalah negara yang telah kembali tegak
dan tidak memerlukan subsidi saya.
Selama
15 tahun beraktivitas di Rusia, Soros diberitakan telah mengeluarkan uang
sekitar 1 milyar dollar. Uniknya, dalam artikel yang sama, The Washington Post
menulis bahwa bentuk bantuan yang dilakukan Soros Foundation di Rusia, selain
membantu perluasan internet di universitas dan menyusun buku-buku sejarah
dengan sudut pandang yang berbeda, adalah juga menyediakan jarum yang bersih bagi para pengguna
narkotika!
Fakta
bahwa Soros menyebarluaskan narkotika di Rusia juga diungkapkan oleh Doktor
Vera Butler. Dalam situs Free republic Doktor Vera Butler menulis, Sudah sangat
jelas bahwa aktivitas Soros tidak terbatas pada Rusia. Garis kebijakannya
didasarkan pada prinsip yang dianutnya. Dia adalah agen dari pemerintahan
global, bukan pemerintahan regional. Soros telah mendirikan sebuah sistem
keuangan dan organisasi, serta mempromosikan legalisasi bagi penggunaan
narkotika, aborsi, euthanasia. Langkah yang diambil Soros ini bisa dipahami
sebagai bagian dari cita-cita kaum Zionis di bawah nama Tatanan Dunia Baru. Membuat masyarakat menjadi lemah dan lumpuh adalah cara
terpenting agar dapat menguasai masyarakat tersebut. Dalam kasus Rusia,
melemparkan generasi muda ke dalam jeratan pengedar narkotika tidaklah sama
dengan melegalisasi kecanduan obat di negara-negara Barat yang makmur. Di
Rusia, memberikan akses bebas terhadap narkotika adalah sama dengan pembunuhan
massal terhadap bangsa ini.
Selanjutnya,
DR. Vera Butler menulis bahwa salah satu proyek yang dilakukan oleh Institut
Masyarakat Bebas milik Soros adalah mengenalkan sikap toleransi di kalangan
pelajar sekolah menengah Rusia. Namun, toleransi yang diperkenalkan di sini
adalah toleransi atas semua hal, termasuk hal-hal yang menurut budaya Rusia
adalah hal-hal yang tabu dan tidak layak dilakukan. Hal ini jelas merupakan
langkah untuk menyebarluaskan paham kebebasan tanpa batas dan sikap-sikap
amoral di Rusia.
Meskipun
ketika Soros menutup yayasannya di Rusia, dia mengatakan bahwa Rusia telah
mampu berdiri sendiri dan tidak memerlukan lagi bantuan dari yayasan ini, namun
setelah itu, Soros berkali-kali menyampaikan kritikan terhadap Presiden Rusia,
Vladimir Putin. Misalnya, pada awal tahun 2005, dalam wawancara dengan koran
Austria Die Presse,
Soros menyatakan bahwa Rusia tidak menjalankan demokrasi dan karena itu, AS dan
Uni Eropa harus mempertimbangkan keanggotaan Rusia dalam kelompok G-8. Menurut
Soros, anggota kelompok G-8 haruslah negara yang menjunjung demokrasi dan
karenanya, Rusia harus dicoret dari kelompok tersebut.
Pernyataan
ini jelas bertentangan dengan alasan yang dikemukakan Soros ketika menutup
yayasannya. Karena itu, analisis sesungguhnya dari penutupan Soros Foundation
di Rusia adalah karena besarnya tekanan pemerintah Rusia yang tidak menghendaki
kehadiran yayasan tersebut dan pada saat yang sama, adanya tekanan dari
pemerintah Bush. Menurut harian The Washington Post, pemerintah Bush memang
merekomendasikan agar Soros menghentikan bantuannya terhadap Rusia karena ternyata
pemerintah Rusia tetap tidak mau tunduk pada kehendak AS. Dengan kata lain, di
mata Bush, penghamburan uang di Rusia sia-sia saja karena pemerintahan Putin
tetap tidak tergoyahkan dan Rusia tetap menolak didominasi oleh AS.
Apapun
juga alasan di balik penutupan Soros Foundation di Rusia, namun yang jelas
ditutupnya yayasan itu merupakan hal yang positif bagi masyarakat Rusia.
Karena, di balik slogan-slogan penyebaran demokrasi dan bantuan sosial, Soros
Foundation sesungguhnya berusaha untuk mencampuri urusan dalam negeri Rusia,
termasuk menyebarkan amoralitas di sana. Apalagi, sebagaimana telah kami bahas
sebelumnya, penggulingan kekuasaan di Georgia, Ukraina, dan Yugoslavia terjadi
karena peran Soros Foundation. Tak heran bila pemerintah Uzbekistan dan Belarus
mengambil langkah tegas dengan menghentikan aktivitas organisasi ini di negara
mereka.
Ada Apa Di Balik Intervensi Soros di Kaukaus dan Asia Tengah?
Selain
negara-negara Kaukasus seperti Georgia, Azerbaijan, Armenia, dan Ukraina,
negara-negara Asia Tengah juga menjadi target kegiatan Soros Foundation. Pada
awal tahun 2004, George Soros mengeluarkan pernyataan bahwa ia ingin agar
revolusi di Georgia kembali terulang di lima negara Asia Tengah. Kelima negara
Asia Tengah yang dimaksudkan Soros adalah Tajikistan, Kirkizistan, Kazakhstan,
Turkmenistan, dan Uzbekistan. Untuk itu, selama tahun 2003, Soros Foundation
telah mengucurkan dana sekitar 20 juta dolar bagi aktivitas Institut Masyarakat
Bebas di kelima negara tersebut. Tujuan utama pemberian dana sebesar itu adalah
untuk memperkuat posisi kelompok-kelompok pro-Barat yang anti pemerintah.
Kini,
muncul pertanyaan, apakah alasan sesungguhnya dari upaya Soros untuk
beraktivitas di negara-negara Kaukasus dan Asia Tengah? Apakah betul bahwa
Soros hanya berniat mengembangkan demokrasi di sana? Untuk menjawab pertanyaan
ini, kita bisa memulainya dengan membahas apa yang terjadi di Georgia. Georgia
memiliki posisi yang strategis, yaitu antara antara Laut Hitam dan Laut Kaspia
yang kaya minyak. Karena itu, sejak lama negara ini telah menjadi fokus intrik
dan konflik di antara berbagai kekuasaan besar dunia. Menyusul runtuhnya Uni
Soviet, kebijakan imperialisme AS yang paling utama adalah melemahkan Rusia dan
menanamkan dominasi di Georgia dan negara-negara Kaukasus lainnya.
Cadangan Minyak Senilai 17 Milyar Dolar
Sejak
awal masa pemerintahan Clinton, Washington menanamkan modal politik dan
diplomatik yang sangat besar di dalam proyek pembangunan jalur pipa minyak yang
akan mengalirkan minyak dari ladang minyak Azerbaijan ke negara Barat. Kekayaan
minyak yang dimiliki Azerbaijan dari ladang Azeri-Chirag-Gunashli antara tahun
2003 hingga 2010 diperkirakan mencapai 17 milyar dolar dengan harga minyak 25
dolar perbarel. Bila diperhitungkan dengan harga dolar beberapa pekan terakhir
yang melonjak hingga 50 dolar, berarti penghasilan minyak Azerbaijan bisa
mencapai 24 milyar dolar.
Besarnya
nilai minyak di Azerbaijan telah membuat AS sangat berambisi menanamkan
dominasinya di wilayah itu. Jalur pipa minyak Azerbaijan yang sedang diincar AS
itu mau tidak mau harus melewati wilayah Georgia. Karena itu bagi Washington,
menciptakan kestabilan di Georgia dengan cara mendudukkan rezim yang pro-AS,
merupakan sebuah hal yang sangat urgen. Kecondongan Presiden Shevardnadze
kepada Rusia telah membuat AS memutuskan untuk menggulingkannya dengan bantuan
Soros Foundation.
Sejak
beberapa tahun sebelum tergulingnya Shevardnadze, Soros Foundation melakukan
berbagai langkah, antara lain membiayai media massa yang gencar mengkritik
pemerintah, sehingga menciptakan kebencian rakyat kepada Shevardnadze. Segera
setelah tergulingnya Shevardnadze, pemerintah Washington langsung menyampaikan
ucapan selamat kepada pemerintah baru Georgia dan mengeluarkan ancaman kepada
Rusia agar jangan mencampuri urusan dalam negeri Georgia. Para pejabat tinggi
AS termasuk Donald Rumsfeld, juga segera datang ke Georgia. Begitu pula pejabat
Bank Dunia, IMF, dan lembaga finansial internasional lainnya.
PIPA MINYAK BAKU TIBLISI DAN CEYHAN
Pada
bulan Maret 2004, Presiden baru Georgia, Mikhail Saakashvili, bertemu dengan
Presiden Azerbaijan yang dikenal pro-AS, Ilham Aliyev, untuk membicarakan
pembangunan pipa minyak Baku-Tiblisi-Ceyhan (BTC). Jalur minyak inilah yang
sangat diincar oleh AS karena akan menyalurkan minyak mentah dari Baku
Azerbaijan, melewati Tiblisi, Georgia, dan berakhir di Ceyhan, Turki. Jalur ini
harus melewati wilayah Rusia, namun pemerintah Rusia menolak pembangunan jalur
pipa minyak ini karena menganggapnya sebagai usaha AS untuk menginfiltrasi negaranya.
Penolakan Rusia ini pula yang menjadi alasan dari berbagai upaya AS, termasuk
melalui tangan Soros Foundation, untuk menggoyang pemerintahan Vladimir Putin.
Konstruksi
pembangunan pipa minyak BTC itu sedang dibangun oleh sebuah konsorsium
multinasional, yang mendapat dukungan AS. Anggaran total proyek ini
diperkirakan mencapai tiga milyar dollar. Jalur minyak ini akan mengalirkan
satu juta barel minyak mentah perhari ke terminal tanker minyak di Mediterania.
Bahkan, rute pipa minyak BTC ini juga bisa dipakai untuk mengalirkan minyak
dari Kazakhstan. Pada pertemuan di Baku, Azerbaijan, Presiden Georgia dukungan
AS, Mikhail Saakashvili, mengulang komitmennya terhadap proyek pipa minyak BTC
dan bersumpah akan melawan setiap halangan dalam pembangunan pipa ini, termasuk
halangan dari Rusia sekalipun.
Pembangunan
pipa minyak BTC dan semakin dalamnya pengaruh AS di Kaukasus tampak sebagai
bagian dari strategi AS yang lebih besar lagi, yaitu menguasai cadangan minyak
dan gas di wilayah yang disebut-sebut sebagai Busur Ketidakstabilan. Isu Perang Melawan Terorisme telah dieksploitasi AS sebagai upaya untuk mengintervensi
wilayah tersebut. Dalam rangka ini, Washington telah menyerang dan menduduki
Irak, sebagai usaha untuk menguasai cadangan minyak Irak yang sangat kaya. AS
juga telah mendudukkan pasukannya di Afghanistan dan beberapa negara eks-Soviet
di Asia Tengah. Tentara AS itu diprediksikan akan membantu pengamanan rute pipa
minyak lainnya, yaitu jalur Turkmenistan-Afghanistan-Pakistan.
Dalam
proyek raksasa di bidang minyak ini, Presiden Bush dan George Soros memiliki
tujuan yang sama. Karena itu, meskipun Soros dikenal sebagai pengkritik Bush,
namun dalam mencapai tujuan sama di bidang minyak ini, mereka pun berjalan
beriringan. Soros memiliki kaitan erat dengan James Baker, pendukung kuat mesin
politik Bush. James Baker adalah partner bisnis Soros pada perusahaan Carlyle
Group. Salah seorang pemilik saham perusahaan ini adalah George Bush senior,
ayah Presiden Bush. James Baker sendiri adalah salah seorang makelar dalam
proyek minyak Azerbaijan. Adanya koneksi erat di bidang bisnis inilah yang
membuat Bush dan Soros seiring-sejalan.
Tak
heran bila untuk kepentingan bisnis raksasa ini, Soros Foundation mau
mengucurkan dana jutaan dolar melalui Institut Masyarakat Bebas dan LSM-LSM
seperti International Crisis Centre (IGC) yang beraktivitas. Kedua lembaga ini
beraktivitas di hampir semua negara di dunia, terutama negara-negara Kaukasus
dan Asia Tengah yang kaya minyak. Melalui tangan Soros Foundation inilah rezim
Washington berhasil menggulingkan Presiden Shevardnadze di Georgia, mendudukkan
Viktor Yushchenko di Ukraina, serta menginfiltrasi Azerbaijan dan negara-negara
lainnya.
KESIMPULAN
Sebagai
kesimpulan, berbagai aksi yang dilakukan oleh Soros Foundation membuktikan
bahwa meskipun dibungkus dengan slogan demokrasi dan kebebasan, tujuan utama
yayasan ini adalah untuk membuka jalan bagi rezim Washington dalam memperluas
imperialismenya di dunia. Sebagaimana telah kami bahas sebelumnya, dana Soros
Foundation didapat dari hasil spekulasi valuta asing yang mengakibatkan
kehancuran ekonomi berbagai negara dan menyebabkan kemiskinan puluhan juta
orang. Kini, dengan mengeluarkan uang dalam kedok amal kebajikan, George Soros
sesungguhnya sedang berusaha mengeruk harta kekayaan yang lebih banyak lagi.
Karena itu, bangsa-bangsa yang berjiwa merdeka sudah seharusnya waspada
terhadap gerak-gerik yayasan ini di negara mereka.